Entah kenapa, sekarang masyarakat seakan mulai kurang pedulikan sejarah, sehingga peninggalan budaya yang terkandung di negeri ini berangsur tenggelam seiring majunya peradaban. Apalagi khusunya kalangan muda sebagai generasi penerus, dikhawatirkan kelak terancam buta sejarah, lantaran mereka tak lagi mendapat pencerahan sebagaimana mestinya dari orang-tua dan mamak-nya.
Andai kata fenomena ini terus berlanjut, entah seperti apa jadinya nanti ranah tacinto ini. Tidak tertutup kemungkinan kelak masyarakat Minang tidak kenal dengan nenek moyangnya sepertii Dt.Parpatih Nan Sabatang, Dt.Katumanggunan. Bundo Kanduang (Puti Indo Jalito), bahkan Sri Maharaja Diraja. Plus tambo Kubuang Tigobaleh bagi masyarakat Solok, soal tatah-petitih, saluak manyaluak antar sesama, hingga berbagai jenis budaya lokal lainnya.
“Sesungguhnya pengaruh budaya asing bukanlah suatu alasan, hingga akhirnya budaya kita jadi mengabur, hanya saja semuanya karena kita sendiri yang seolah mengabaikan pusaka yang diwarisi nenek moyang terdahulu. Sejarah yang diwariskan secara lisan ke anak cucu adalah Tambo, dan Tambo itu jelas suatu pusaka yang patut dijaga. Begitupun warisan budaya, adat istiadat, kebiasaan masyarakat yang berlaku di dalam korong jo kampuang.
Papar Janwar dan Defrizal, penjaga makam Dt.Parpatih Nan Sabatang, di Munggu Tanah, Nagari Selayo, Kabupaten Solok, menjawab Singgalang, disela aktivitasnya membersihkan Tampat (komplek pemakaman) tersebut, beberapa waktu lalu. Hal itu menurutnya ditandai dengan sangat minimnya minat masyarakat Solok untuk berkunjung ke lokasi Tampat, padahal sesungguhnya Dt.Parpatih Nan Sabatang yang ditanam semenjak lebih lima ratus tahun silam itu justru merupakan nenek moyang-nya orang Minangkabau. Beliau adalah pencetus lahirnya Keselarasan Bodi Caniago (sistem demokrasi, membosek dari bumi) di Minangkabau, sebagaimana di dalam tambo disebutkan berbeda dengan kakaknya Dt. Katumanggungan yang berkelarasan Koto Piliang (Titiak dari Ateh).
Dijelaskan Janwar, dahulu keberadaan Dt.Parpatih Nan Sabatang di Solok bertalian erat dengan sejarah Luhak Kubuang Tigobaleh yang kini telah dikukuhkan Pemerintah menjadi Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Yang mana pada saat itu Dt.Parpatih Nan Sabatang juga pembawa sistem bertani, bercocok tanam guna memenuhi kebuuhan hidup.
Namun sayangnya tidaklah begitu banyak orang yang tahu soal semua cerita itu, bahkan sebahagian orang Solok sendiri juga ada yang tak mengetahui sama-sekali bahwasanya Dt.Parpatih Nan Sabatang justru bermakam di Selayo, Solok. Buktinya sangat jarang orang Solok datang ke Tampat, kecuali sebahagian kalangan dari Batu Sangkar dan sekitarnya yang bisa dibilang rutin berziarah pada waktu-waktu tertentu pak. Termasuk Pemerintah Kabupaten Solok, selama ini juga terkesan tak mau tau, dan kurang peduli akan asset wisata sejarah yang sangat berarti ini” timpal Defrizal.
Dt.Parpatih Nan Sabatang meninggalkan bukti sejarah lainnya, seperti pohon kayu jao yang terdapat di Simpang By-Pass Selayo. Konon menurut pengakuan dari berbagai sumber, itu merupakan tongkat Dt.Parpatih Nan Sabatang. Dahulu sengaja ditancapkan oleh beliau sebagai tanda batas daerah, tatkala menegahi perselisihan batas nagari antara Solok dan Selayo. Entah apa sesungguhnya jenis pohon kayu berusia ratusan tahun itu, sampai sekarang belum atupun kalangan bisa memastikan, dan masyarakat setempat mempercayai lokasi kayu jao cukup keramat. Sayangnya asset budaya lokal berharga itu pun tidak dipugar, sehingga secara sepintas terlihat seperti pohon biasa saja.
Janwar dan Dfrizal (dua kakak beradik), kedepannya sangat mengharapkan Pemerintah Daerah mau ikut mempromosikan Situs Sejarah dan Peninggalan Purbakala itu menjadi salah-satu asset negeri yang bernilai tinggi. Untung saja sekarang untuk perawatannya yang hanya mengandalkan Balai Pelestarian, Peninggalan Purbakala Batu Sangkar, kalau tidak, tentunya lokasi Tampat sangat memprihatinkan. red
Tidak ada komentar:
Posting Komentar