Rabu, 13 April 2016

Anggota DPRD Kab Solok Serahkan Bantuan


Wali Nagari Gauang, Rizal Idzeko, secara langsung menerima paket bantuan peralatan sound system  dari:Anggota DPRD Kabupaten Solok, Dendi S.Ag, ( sumbangsih Hardinalis, SE, MM, Dendi, S. Ag. MA, Nosa Eka Nanda, S. Pd, Ir. Bestari). .
  
Sesuai rencana, bantuan ini akan dimanfaatkan untuk keperluan Aula Kantor Wali Nagari Gauang, guna kelancaran kegiatan-kegiatan resmi pemerintahan, adat, maupun berbagai bentuk alek anak nagari lainnya.  (Wali Nagari-Rizal Idzeko)

Minggu, 09 Agustus 2015

Silsilah Keturunan Raja Alam Pagaruyung


Berdasarkan Silsilah Ahli Waris Daulat yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah yang dikenal juga dengan panggilan Yang Dipertuan Hitam mempunyai empat orang saudara; Puti Reno Sori, Tuan Gadih Tembong, Tuan Bujang Nan Bakundi dan Yang Dipertuan Batuhampar, hasil perkawinan dari Daulat yang Dipertuan Sultan Alam Muningsyah (II) yang juga dikenal dengan kebesarannya Sultan Abdul Fatah Sultan Abdul Jalil (I) dengan Puti Reno Janji Tuan Gadih Pagaruyung XI.
Daulat Yang Dipertuan Sultan Tangkal Alam Bagagar Syah menikah pertama kali dengan Siti Badi’ah dari Padang mempunyai empat orang putera yaitu: Sutan Mangun Tuah, Puti Siti Hella Perhimpunan, Sutan Oyong (Sutan Bagalib Alam) dan Puti Sari Gumilan.

Dengan isteri keduanya Puti Lenggogeni (kemenakan Tuan Panitahan Sungai Tarab) mempunyai satu orang putera yaitu Sutan Mangun (yang kemudian menjadi Tuan Panitahan SungaiTarab salah seorang dari Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung).Sutan Mangun menikah dengan Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII (anak Puti Reno Sori Tuan Gadih Pagaruyung XII dan kemenakan kandung dari Sultan Alam Bagagarsyah).

Dengan isteri ketiganya Tuan Gadih Saruaso (kemenakan Indomo Saruaso, salah seorang Basa Ampek Balai Kerajaan Pagaruyung) mempunyai putera satu orang: Sutan Simawang Saruaso (yang kemudian menjadi Indomo Saruaso).

Dengan isteri keempatnya Tuan Gadih Gapuak (kemenakan Tuan Makhudum Sumanik) mempunyai putera dua orang yaitu Sutan Abdul Hadis (yang kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik salah seorang Basa Ampek Balai dari Kerajaan Pagaruyung) dan Puti Mariam. Sutan Abdul Hadis mempunyai delapan orang putera yaitu: Sutan Badrunsyah, Puti Lumuik, Puti Cayo Lauik, Sutan Palangai, Sutan Buyung Hitam, Sutan Karadesa, Sutan M.Suid dan Sutan Abdulah. Puti Mariam mempunyai dua orang putera : Sutan Muhammad Yakub dan Sutan Muhammad Yafas (kemudian menjadi Tuan Makhudum Sumanik)

Adik perempuan dari Daulat Sultan Alam Bagagarsyah yaitu Puti Reno Sori yang kemudian dinobatkan menjadi Tuan Gadih Pagaruyung XII menikah dengan saudara sepupunya Daulat Yang Dipertuan Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang II Raja Adat Pagaruyung, mempunyai seorang puteri yaitu Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung XIII. Puti Reno Sumpu dengan suami pertamanya Sutan Ismail Raja Gunuang Sahilan mempunyai seorang puteri: Puti Sutan Abdul Majid. Sedangkan dengan suami keduanya: Sutan Mangun Tuan Panitahan Sungai Tarab (putera dari Sultan Alam
Bagagarsyah) mempunyai seorang puteri: Puti Reno Saiyah Tuan Gadih Mudo (Tuan Gadih ke XIV).

Puti Reno Saiyah ini menikah dengan Sutan Badrunsyah Penghulu Kepala Nagari Sumanik (putera dari Sutan Abdul Hadis dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera empat orang yaitu: Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam Tuan Gadih Ke XV, Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang, Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek dan Sultan Ibrahim Tuanku Ketek.

Puti Reno Aminah dengan suami pertamanya Datuk Rangkayo Basa, Penghulu Kepala Nagari Tanjung Sungayang mempunyai seorang puteri: Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang (Tuan Gadih Pagaruyung XVI) dan dengan suami keduanya Datuk Rangkayo Tangah dari Bukit Gombak mempunyai putera satu orang: Sutan Usman Tuanku Tuo.

Puti Reno Dismah Tuan Gadih Gadang menikah dengan Sutan Muhammad Thaib Datuk Penghulu Besar (ibunya Puti Siti Marad adalah cucu dari Sutan Abdul Hadis dan cicit dari Sultan Alam Bagagarsyah, sedangkan ayahnya Sutan Muhammad Yafas adalah anak dari Puti Mariam dan cucu dari Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera enam orang: Puti Reno Soraya Thaib, Puti Reno Raudhatuljannah Thaib, Sutan Muhammad Thaib Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Puti Reno Yuniarti Thaib, Sutan Muhammad Farid Thaib, Puti Reno Rahimah Thaib.

Sutan Usman Tuanku Tuo menikah dengan Rosnidar dari Tiga Batur (cicit dari Sutan Mangun anak Sutan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera delapan orang: Puti Rahmah Usman, Puti Mardiani Usman, Sutan Akmal Usman Khatib Sampono, Sutan M .Ridwan Usman Datuk Sangguno, Sutan Rusdi Usman Khatib Muhammad, Puti Rasyidah Usman, Puti Widya Usman, Sutan Rusman Usman, Puti Sri Darma Usman.
Puti Reno Halimah Tuan Gadih Kuniang tidak mempunyai putera.

Puti Reno Fatimah Tuan Gadih Etek menikah dengan Ibrahim Malin Pahlawan dari Bukit Gombak mempunyai putera tiga orang: Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah, Puti Reno Fatima Zahara Tuan Gadih Etek dan Sutan Ismail Tuanku Mudo. Puti Reno Nurfatimah Tuan Gadih Angah menikah dengan Sy.Datuk Marajo dari Pagaruyung mempunyai seorang putera : Sutan Syafrizal Tuan Bujang Muningsyah Alam.

Puti Reno Fatima Zahara menikah dengan Sutan Pingai Datuk Sinaro Patiah Tanjung Barulak (adalah cicit dari Puti Fatimah dan piut dari Sultan Abdul Jalil Yamtuan Garang Yang Dipertuan Sembahyang) mempunyai putera delapan orang: Sutan Indra Warmansyah Tuanku Mudo Mangkuto Alam, Sutan Indra Firmansyah, Sutan Indra Gusmansyah, Puti Reno Endah Juita, Sutan Indra Rusmansyah, Puti Reno Revita, Sutan Nirwansyah Tuan Bujang Bakilap Alam, Sutan Muhammad Yusuf.

Sutan Ismail Tuanku Mudo menikah dengan Yusniar dari Saruaso (adalah cicit dari Yam Tuan Simawang anak Sultan Alam Bagagarsyah) mempunyai putera tujuh orang: Sutan Fadlullah, Puti Titi Hayati, Sutan Satyagraha, Sutan Rachmat Astra Wardana, Sutan Muhammad Thamrinul Hijrah, Puti Huriati, Sutan Lukmanul Hakim.

Sutan Ibrahim Tuanku Ketek dengan isteri pertamanya Dayang Fatimah dari Batipuh (kemenakan Tuan Gadang Batipuh) mempunyai seorang putera: Sutan Syaiful Anwar Datuk Pamuncak; dengan istri keduanya Nurlela dari Padang mempunyai seorang putera: Sutan Ibramsyah dan isteri ketiganya Rosmalini dari Buo mempunyai puteri dua orang: Puti Roswita dan Puti Roswati.

Dari kutipan Silsilah Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung dapat dilihat bahwa ahli waris baik berdasarkan garis matrilineal maupun patrilineal adalah anakcucu dari Puti Reno Sumpu Tuan Gadih Pagaruyung ke XIII yang sampai sekarang mewarisi dan mendiami Istano Si Linduang Bulan di Balai Janggo Pagaruyung Batusangkar.

Setelah mamaknya Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap Belanda pada tanggal 2 Mei 1833 dan dibuang ke Batavia dan ayahnya Daulat Yang Dipertuan Abdul Jalil Yang Dipertuan Sembahyang mangkat di Muara Lembu, maka Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu dijemput oleh Datuk-datuk Yang bertujuh untuk kembali ke Pagaruyung melanjutkan tugas mamak dan sekaligus tugas ayahnya sebagai Raja Alam dan Raja Adat.

Sesampainya di Pagaruyung, ternyata tidak ada lagi istana yang berdiri di Pagaruyung karena telah dibumi hanguskan. Kemudian pemerintah Belanda menawarkan bantuan untuk mendirikan istananya di Gudam atau di Kampung Tengah atau di Balai Janggo. Beliau memilih mendirikan istananya di Balai Janggo dengan alasan dekat dengan padangnya, Padang Siminyak (diceritakan oleh cucu beliau Puti Reno Aminah Tuan Gadih Hitam kepada penulis). Nama Istana Si Linduang Bulan kembali dipakai (nama istana tempat kediaman Raja Pagaruyung sejak dulu) untuk nama istana yang baru itu, sekaligus sebagai pengganti dari istana-istana raja Pagaruyung yang terbakar semasa Perang Paderi.

Istana Si Linduang Bulan ini kemudian terbakar lagi pada tanggal 3 Agustus 1961. Atas prakarsa Sutan Oesman Tuanku Tuo ahli waris Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung beserta anak cucu dan keturunan; Tan Sri Raja Khalid dan Raja Syahmenan dari Negeri Sembilan, Azwar Anas Datuk Rajo Sulaiman, Aminuzal Amin Datuk Rajo Batuah, bersama-sama Sapiah Balahan, Kuduang Karatan, Timbang Pacahan, Kapak Radai dari Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung serta Basa Ampek Balai dan Datuk Nan Batujuh Pagaruyung, Istana Si Linduang Bulan dibangun kembali dan diresmikan pada tahun 1989. (Red)

Disarikan oleh : Puti Reno Raudha Thaib

Kerajaan Pagaruyung, Abad XIV-XIX



Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh seorang peranakan MinangkabauMajapahit yang bernama Adityawarman, pada tahun 1347. Adityawarman adalah putra dari Mahesa Anabrang, panglima perang Kerajaan Sriwijaya, dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang.


Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim utusan ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit.

Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Jawa di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Pengaruh Hindu
Pengaruh Hindu di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-13 dan ke-14, yaitu pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan mereka diperkirakan cukup kuat mendominasi Pagaruyung dan wilayah Sumatera bagian tengah lainnya. Pada prasasti di arca Amoghapasa bertarikh tahun 1347 Masehi (Sastri 1949) yang ditemukan di Padang Roco, hulu sungai Batang Hari, terdapat puji-pujian kepada raja Sri Udayadityavarma, yang sangat mungkin adalah Adityawarman.

Walaupun demikian, keturunan Adityawarman dan Ananggawarman selanjutnya agaknya bukanlah raja-raja yang kuat. Pemerintahan kemudian digantikan oleh orang Minangkabau sendiri yaitu Rajo Tigo Selo, yang dibantu oleh Basa Ampat Balai. Daerah-daerah Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh [2], dan kemudian menjadi negara-negara merdeka.

Pengaruh Islam
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.

Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Papatah adat Minangkabau yang terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada AI-Quran.

Hubungan dengan Belanda dan Inggris
Ketika VOC berhasil mengalahkan Kesultanan Aceh pada peperangan tahun 1667, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, dikarenakan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[3] Sejak saat itu mulailah terbina komunikasi dan perdagangan antara Belanda (VOC) dan Pagaruyung.

Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon dimana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung di tahun 1818, dimana saat itu sudah mulai terjadi peperangan antara kaum Padri dan bangsawan (kaum adat) Pagaruyung.

Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda di tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London di tahun 1824 dengan Inggris.

Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan golongan bangsawan (kaum adat). Dalam satu pertemuan antara keluarga kerajaan Pagaruyung dan kaum Padri pecah pertengkaran yang menyebabkan banyak keluarga raja terbunuh. Namun Sultan Muning Alamsyah selamat dan melarikan diri ke Lubukjambi.

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Muning Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu berperang melawan kaum Padri dan Sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili pemerintah pusat.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa dan Maluku. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.

Pembagian Rentang Waktu
Kerajaan Pagaruyung mengalami dua periode dari segi keagamaan yaitu:

Masa pra-Islam
Kerajaan Pagaruyung di masa Adityawarman merupakan kerajaan di Minangkabau sebelum Islam masuk ke istana Pagaruyung yang tentunya juga berpengaruh pada corak kerajaan yang bukan bercorak Islam melainkan bercorak Buddha atau Hindu.

Masa Islam
Kerajaan Pagaruyung mengalami masa Islam semenjak masuk Islamnya raja Pagaruyung sampai runtuhnya kerajaan Pagaruyung. Corak Islam ditandai dengan perubahan sebutan untuk raja menjadi Sultan (bahasa Arab : Sulthan) yang orang Minang sendiri kemudiannya menyebutnya Sutan karena penyesuaian oleh lidah orang Minang. Sultan pertama kerajaan Pagaruyung Islam adalah Sultan Alif.   (Red)


^ Djamaris, Edwar. 1991. Tambo Minangkabau. Jakarta: Balai Pustaka.
^ Cheah Boon Kheng, Abdul Rahman Haji Ismail (1998). Sejarah Melayu. the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.
^ Haan, F. de, 1896. Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-’s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.

Dinamika Dua Kelarasan dalam Masyarakat Minangkabau

Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sebuah kelompok masyarakat yang mendiami sebahagian besar daerah Propinsi Sumatra Barat yang meliputi kawasan seluas 18.000 meter persegi yang memanjang dari utara ke selatan di antara Samudera Indonesia dan gugusan Bukit Barisan. Secara jelas batas daerah etnis Minangkabau ini sulit diketahui, bahkan apabila dikaji secara linguistik sama dengan “antah-berantah” (Navis, 1984). Hal ini disebabkan karena masyarakat Minangkabau lebih banyak melukiskan kondisi dan situasi daerahnya melalui sastra lisan (kaba dan tambo)

 
Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau ini adanya masih kuatnya masyarakat memegang dan menerapkan adat (adaik) yang mereka miliki. Salah satu bentuk ajaran adat tersebut tertuang dalam adat lareh, berupa seperangkat nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar yang mengatur aktifitas dan kehidupan sosial politik masyarakatnya. Lareh sebagai “sistem politik”, sering dipakai untuk menyebut aliran pemikiran dua datuak nenek moyang pendahulu masyarakat Minangkabau yaitu Datuak Katamenggungan yang mengembangkan lareh Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang

Berangkat dari tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, Datuak Katamenggungan mengembangan sistem politik (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago. Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes adri atas).

Sementara lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusek dari bumi (muncul dari bawah) Secara struktural, ajaran kedua lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains) pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari.

Perbedaan antara dua lareh ini disatu sisi telah memunculkan persaingan satu sama lain, bahkan menurut Christine Dobbin, persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak Katamenggungan dan Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu sendiri. Ini ditandai dengan persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut adat lareh Bodi Caniago dengan desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto Piliang, yang digambarkan Dobbin sampai terjadi “perang batu” dan “perang bedil”.

Menurut Syafi’I Maarif, sampai sekarang pun, pola yang selalu bersaing antara dua lareh ini tetap bertahan dalam memperebutkan supremasi politik di seluruh Minangkabau, bahkan dicurigai juga terjadi di daerah-daerah rantau Minangkabau. Hal ini dilihat oleh Maarif dari pepatah-petitih Minangkabau yang lebih banyak bermuatan demokratis, yang dicurigainya sebagai bentuk  pengaruh yang diciptakan orang Minangkabau penganut Bodi Caniago dalam memenangkan “persaingan” tersebut.

Ada kecenderungan “dualisme” dalam masyarakat Minangkabau. Ini misalnya terungkap dengan berbagai istilah yang digunakan, seperti “dualisme” (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai berubah-ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas” (Biezeveld, 2001), “sulit diterka” (Wahid, 1996), “ambiguous” (Sairin, 2002), dispute (Tanner, 1971). Konsep “dualisme” ini cenderung dikonotasikan secara negatif. Dalam pergaulan lintas budaya stereotip ini juga berkembang. Orang Minang sering dibilang bengkok hatinya (munafik, mendua). Hal tersirat dalam ungkapan “Padang Bengkok”. Dalam pepatah Minang juga ada yang mencerminkan perilaku ini: “Taimpik nak diateh, Takurung nak di lua” (Terhimpit mau di atas, Terkurung maunya di luar). Sikap ini mengindikasikan sifat oportunis orang Minang yang mau enak saja.

Tulisan Saanin Datuak Tan Pariaman, “Kepribadian Orang Minangkabau dan Psikopatologinya” secara tegas menyebutkan “masyarakat minangkabau memiliki pola dualisme” yang melihat bahwa masyarakat Minangkabau cenderung memiliki psikologi yang terbelah dua (dualisme). Menurut Saanin, ketika seseorang mempelajari Minangkabau, akan selalu dihadapkan pada masalah “dualisme” tersebut.

Sifat dualisme seperti ini, misalnya terlihat jelas pada : (1) Penerapan aturan antara cara adat (matrilineal) dengan cara agama (patrilineal). (2) sistem politik (lareh) antara aristokratis dengan demokratis. (3) pola pengasuhan anak antara pengasuhan oleh mamak dengan pengasuhan oleh bapak. (4) sistem pewarisan (harta dan gelar) antara pewarisan ke kemenakan dengan pewarisan ke anak. Ini hanya beberapa contoh bentuk dualisme dalam masyarakat Minangkabau tersebut.

Sifat dasar masyarakatnya yang terbelah (dualisme) ini, tidaklah terbentuk begitu saja, tetapi secara struktural telah terbentuk sejak lama, yaitu sejak duo datuak pendiri adat Minangkabau menciptakan dua landasan adat (lareh) dalam masyarakatnya. Dalam tambo digambarkan, dua datuak ini yaitu Datuak Katamenggungan akhirnya menciptakan lareh Koto Piliang yang aristokratis (manitiak dari ateh), dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang akhirnya menciptakan lareh Bodi Caniago yang demokratis (mambusek dari bumi).

Sebagai dua tokoh penting, maka terbelahnya landasan adat masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini bisa dimaklumi, karena kedua tokoh ini digambarkan memang memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang berbeda. Datuak Katamenggungan digambarkan sebagai “putra makhkota” yang akan mewarisi “kerajaan” ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang “raja”. Berbeda dengan Datuak Prapatiah Nan Sabatang yang justru terlahir dari rakyat biasa, suka merantau dan berwatak kerakyatan, serta memiliki pola pikir yang lembut dan egaliter.

Perbedan-perbedaan ini lah yang sering menjadi pemicu munculnya persaingan dan pertentangan diantara duo datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu. Puncaknya, terjadi setelah ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, yaitu dengan terjadinya “perang“ di Limo Kaum (Dobbin, 1983; Djamaris, 1991).

Pada perkembangan kemudian, akhirnya kedua datuak ini lalu membentuk dua sistem politik (lareh) yang berbeda dan masing-masing nya saling berebut pengaruh dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau akhirnya terbelah dalam dua sistem politik (phratry dualism), dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak (Batuah, 1966). Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai sekarang ini (Maarif, 1996).

Dalam kasus yang lebih modern, kita menemukan pertentangan antara beberapa anak Minang yang berjasa dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, yakni antara Syahrir, Hatta, dan Tan Malaka. Dalam Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 11-17 Agustus 2008 dimuat artikel pertentangan Tan Malaka dengan Mohammad Hatta. Mereka berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan Malaka percaya jika digabung antara Pan-Islamisme dan Komunisme, Indonesia bisa menjadi digdaya.

Pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah apakah Pertentangan dan persaingan sebagaimana yang disebutkan di atas menimbulkan silang sengketa yang berkepanjangan dan tak berkesudahan di Minang? Banyak ahli mengatakan sifat terbelah dua (dualisme) ini selalu membayangi kehidupan masyarakatnya, justru hal tidak menimbulkan kondisi disharmoni dalam masyarakatnya. Banyak ahli bahkan melihat bahwa Minangkabau memiliki kehidupan yang sangat dinamis. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat yang terbelah itu, terselip juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya, sehingga dualisme ini justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama lain.

Dalam tambo, menurut Navis (1984) dan juga Djamaris (1991), sintesis yang mengakhiri pertentangan antara duo datuak pendiri Minangkabau tersebut dilakukan melalui kehadiran tokoh Datuak Sakalok Dunia dan Banego-nego. Ini akhirnya melahirkan lareh baru yang disebut Lareh Nan Panjang, dimana sifat lareh ini sering dikatakan Koto Piliang bukan, Bodi Caniago antah (Koto Piliang bukan, tetapi dikatakan Bodi Caniago juga bukan).

Pada perkembangan kemudian, pola menyelesaikan pertentangan (sintesis dualisme) gaya duo datuak tersebut, misalnya terlihat dengan hadirnya filosofi yang mendasari kehidupan masyarakatnya yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Menurut Syarifuddin (1984), filosofi lebih sebagai bentuk sintesis yang dilakukan oelh masyarakatnya dengan masuknya Islam menjadi agama baru dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Begitu juga pola pengasuhan anak disentesiskan menjadi anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing), sedangkan sintesis dualisme dalam sistem pewarisan dilakukan melalui pewarisan harto pusako (harta komunal) kepada kemenakan (khususnya perempuan) dan harta pancarian (harta individual) diwariskan kepada anak.

Dalam adat terdapat juga perimbangan pertentangan. Sebagaimana adat dikatakan sebagai:
“Dibalun sabalun kuku, Dikambang seleba alam”
(Digumpal sekecil kuku, dikembang sebesar alam)

Dalam perhubungan Mamak/Paman dengan kemenakanpun terdapat perseimbangan pertentangan. Sebagaimana pepatah adat:

“Kamanakan manyambah lahia, Mamak manyambah batin”
“Kamanakan bapisau tajam, Mamak badagiang taba”
(Kemenakan menyembah secara lahir, mamak menyembah secara batin)
(Kemenakan mempunyai pisau tajam, mamak mempunyai daging yang tebal)
“Sayang di anak dilacuiti, sayang di kampuang ditinggakan
(Sayang pada anak dipukuli, sayang pada kampung ditinggalkan)

Pada sifat kerbau (yang merupakan simbol Minangkabau) menurut M. Nasroen terdapat juga hal perimbangan pertentangan ini. Kerbau ketika tunduk dan merendahkan kepala bukanlah ia tunduk sebenarnya dan takut. Tetapi isyarat ia akan menyerang.

Perimbangan pertentangan juga dapat kita lihat dalam sistem matrilineal Minangkabau yang memberikan kedudukan istimewa kepada kaum ibu. Kaum ibulah berpusat sistem keturunan orang Minangkabau. Sehingga persekutuan hidup Minangkabau mempunyai jaminan hidup dan kesejahteraan dari harta pusaka dan dana milik kaum/suku. Kaum ibulah yang berkuasa atas harta benda kaum seperti sawah, ladang, rumah dsb. Kaum ibu memilihara harta benda itu dengan sebaik-baiknya, sebab harta benda itu adalah jaminan bagi hidup dan keselamatan anak-anaknya sendiri.

Namun, kekuasaan kaum ibu terhadap harta benda itu tidak mengindikasi kesewenang-wenangan terhadap harta tersebut. Kaum laki-laki yaitu mamak/paman dalam kaum itu (saudara laki-laki ibu) mempunyai hak pengawasan atas harta benda itu. Tindakan atas harta milik kaum baik hubungan ke dalam dan yang berhubungan keluar (dengan orang lain) seperti mengadai, hanya bisa dilakukan dengan seizin mamak

Dalam prinsip ini, pertentangan-pertentangan yang ada tetap ada, tidak akan lenyap. Namun antara pertentang-pertentangan terdapat perimbangan. Perumpamaan yang mudah untuk memahami pernyataan ini adalah contoh sebagai berikut:

Ketika memasak gulai bahan yang dipakai diantaranya garam, lada, bawang, asam, dsb. Setelah dimasak dalam gulai itu, garam tetap asin, pedas lada tetap terasa, maung bawang dan asamnya asam juga tetap terasa. Yang kita temui dari gulai adalah harmoni/keseimbangan antara bahan-bahan dimana sifat yang satu dengan yang lain bertentangan. Kalau salah satu bahan-bahan itu tidak ada atau kurang, maka gulai sebagai satu kesatuan, tidak lagi enak.

Keadaan masyarakat Minangkabau yang membuktikan adanya dasar perimbangan pertentangan ini adalah mengenai adat Minangkabau itu sendiri yang berlaku prinsip perimbangan antara yang kekal dan yang berubah. Adat Minangkabau adalah kekal tetapi berubah-ubah. Demikian pula alam yang nyata ini. Alam kekal sampai kiamat, tetapi dibalik alam itu mengalami perubahan pula.

Kemampuan masyarakat Minangkabau dalam memecahkan dualisme agar tidak menjadi disharmoni inilah, dalam literatur sering digambarkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (Nasroen, 1954), “permusuhan dalam persahabatan (hostile in friendship)” (de Jong, 1960), dispute in harmony (Abdullah, 1966; Tanner, 1971), “dari dualisme menuju keesaan” (Saanin, 1989). Oleh sebab itu, menurut Saanin (1989), “dualisme menuju keesaan” ini adalah sesuatu yang khas mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Minangkabau, suku-bangsa Minangkabau maupun jiwa atau psikologis orang Minangkabau itu sendiri.


Referensi:
Ariffin, Zainal. “PERMUSUHAN DALAM PERSAHABATAN”: Budaya Politik Masyarakat Minangkabau. Workin Paper di Universitas Malaya Kuala Lumpur Malaysia. Tanggal Download, 17 November 2008. http://ccm.um.edu.my/umweb/fsss/images/persidangan/Kertas%20Kerja/Drs.%20Zainal%20Ariffin.pdf
Editor. Trio Minang Bersimpang Jalan. Dalam Kompas Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 11-17 Agustus 2008. Penerbit PT Tempo Inti Media Tbk: Jakarta.
Nasroen, M. 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Penerbit Pasaman: Jakarta.

Sumber: