Rabu, 29 Juli 2015

Warisan Leluhur Dalam Balutan Hari Raya Idul Fitri

Tujuh Hari, Warga Gauang Rayo Katampek

Di banyak daerah, momentum lebaran Idul Fitri 1 Syawal 1436 H mungkin banyak diisi dengan ajang silaturrahmi lewat mengunjungi rumah sanak saudara, keluarga, famili, kerabat, selanjutnya jalan-jalan ke tempat-tempat wisata/ hiburan yang ada. Namun berbeda halnya dengan masyarakat Nagari Gauang, Kabupaten Solok, justru selama sepekan, Sabtu – Kamis (18-23/7), mereka berbondong-bondong ke pandam pekuburan guna melaksanakan ritual ‘Rayo Katampek’.  Konon ini lebih dari sekadar ritual lebaran,  mau tau kisahnya ?

Tim Liputan— Solok



 Sekadar diketahui, perkampungan kecil berpenduduk sekitar 2000 jiwa ini terdapat di ujung Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, persisnya berbatas langsung dengan Kota Solok. Disegi ekonomi, masyarakatnya hampir 60 persen bergantung dari sektor pertanian, peternakan, dan perkebunan (karet, kakao).  

Nagari Gauang juga dikenal sebagai daerah penghasil batu merah (batu bata) sesudah Nagari Aripan, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Hal ini ditandai dengan terdapatnya sejumlah bedeng di Jorong bansa dan Jorong Gando.

Namun siapa menyangkal,  dibalik kondisi sosial yang terlihat biasa-biasa saja seiring dengan kian kuatnya irama zaman, Nagari Gauang justru mampu bertahan dengan seabrek nilai-nilai tradisi, adat dan budaya yang diwarisi secara turun-temurun. Salah satu bentuk kearivan lokal yang berlaku adalah ‘Rayo Katampek’ yang sistem pelaksanaannya dihelat tujuh hari pasca 1 Syawal (hari Raya Idul Fitri).

Dari penelusuran di sejumlah lokasi Rayo Katampek, seperti di Pandam Guguk Limausirek Jorong Gelanggang, Sabtu (18/7), Tampek Gadang, Jirek Tapuih, Kubang Epoh di Jorong Bansa, Minggu (19/7), hingga hari terakhir Jirek Jauah dan Jirek Gadang di Jorong Bansa, Kamis (23/7). Ratusan masyarakat terlihat begitu antusias mengkikuti jalannya ritual unik tersebut.  Tanpa terkecuali diantaranya kalangan muda-mudi, ikut larut dalam balutan suasana yang penuh kekeluargaan.

Semisal di Pandam Pekuburan Tampek Gadang milik kaum Caniago, terlihat warga yang datang memadati lokasi acara mencapai lebih dari 1000 jiwa, itupun nyaris melibatkan semua kalangan mulai anak-anak sampai  lanjut usia. Dari awal hingga akhir, memakan waktu  lebih dari tiga jam.

Mula-mula diawali prosesi pidato adat pasambahan antar pihak sipangka (tuan rumah-red) dengan unsur tokoh agama, selanjutnya diikuti pembagian jamba (nasi  bungkus, kue-kue) ke masing-masing pengunjung bersamaan dengan berlangsungnya ritual balaho (tahlilan) yang diikuti seluruh warga yang hadir. Sehabis jamba dibagikan, dilangsungnkan prosesi pengumpulan infaq/ sedekah untuk pembangunan Masjid, kemudian ditutup dengan doa.   

Dalam satu hari, Rayo Katampek bisa berlangsung di dua sampai empat lokasi berbeda, dengan sistem pelaksanaan dilakukan secara bergantian. Upacara adat tersebut biasanya dimulai pagi hari, berakhir petang hari, tergantung seberapan banyak jumlah lokasi yang dijadwalkan hari itu. Begitu seterusnya, satu sama-lain larut dalam suasana peuh hikdmat.

Menurut seorang pemangku adat sekaligus uama, M.Yusuf Can Dt Saih Tuma Alam, Ritual Rayo Katampek digelar selama 7 hari, dimulai 2 Syawal Idul Fitri. Jadwal, tempat pandam pekuburan yang dikunjungi sudah tersusun sebagaimana mestinya semenjak dahulu.  Jadi,  soal jadwal, lokasi, tinggal menunggu gilirannya tiba. Maka si tuan rumah mesti bersiap-siap dengan tanggung-jawabnya.

Secara garis besar, Nagari Gauang memiliki tiga kaum adat, yakni kaum suku Caniago, Supanjang, dan suku Koto. Masing-masing kaum punya sejumlah pandam pekuburan, dengan sistem pembagian sudah diatur sesuai garis keturunan, maupun sako  dan  pusako. Seirama alur garis keturunan dari kepala waris/  kaum, ibarat buah durian masing-nya punya ruang-ruang.     

Ketika jadwalnya tiba, sambungnya, biasanya si pemilik pandam pekuburan akan menjadi tuan rumah/ sipangka alek (helat), selanjutnya mereka menggelar kegiatan masak-memasak makanan yang akhirnya dibungkus menjadi  nasi bungkus, ditambah kue-kue/makanan ringan sebagai selingan.

Makanan yang siap dibungkus tersebut pun dari rumah dijujung lewat berjalan kaki menuju lokasi tampat oleh kaum ibu-ibu berpakaian adat (baju kuruang basiba hitam), untuk selanjutnya dibagi-bagikan pada semua pengunjung yang datang.

Rombongan kaum hawa pembawa jamba (makanan) adalah momentum khas tersendiri dalam setiap perayaan Lebaran Idul Fitri di Nagari Gauang, mereka berjalan berbanjar di labuh utama nagari.  Selain kaum ibu-ibu, dalam barisan pembawa jamba juga dihiasi bidadari-bidadari cantik utusan keluarga/ kaum bersangkutan.

“Ini sudah menjadi tradisi sejak dahulunya, hingga terus berlangsung sampai sekarang,” Kata M.Yusuf yang juga pensiunan guru SMKN 1 Kota Solok.

Bersamaan dengan itu, ratusan masyarakat yang sedari awal berkumpul di lokasi acara, harap-harap cemas menunggu kedatangan rombongan pembawa makanan tersebut. Yang tak kalah pentingnya, diantara para tamu yang memadati tempat ritual,  telah hadir Alim Ulama, Pemangku Adat, Cerdik Pandai, Pemuda, serta berbagai unsur lainnya.

Begitu pihak sipangka helat tiba, upacara Rayo Katampek pun dimulai. Diawali dengan ritual balaho (tahlilan), berbalas pantun adat, serta diikuti pembacaan doa. Kebetulan dipertengahan ritual, juga dilangsungkan pembagian jamba pada segenap tamu yang datang, disertai pengumpulan infak/sedekah untuk pembangunan Masjid oleh rajo Janang, yakni anak laki-laki dari keluarga laki-laki kaum bersangkutan.     

“Nasi bungkus dan beraneka macam makanan yang dibagi-bagikan tersebut disiapkan oleh masing-masing kaum selaku ahliwaris. Tidak memandang apakah itu orang miskin, kaya, berpangkat, rakyat biasa, semuanya diberi jamba,” timpal Aditiawarman Dt.Kayo, Ninik Mamak dari kaum suku Supanjang.

Dikatakannya, jamba yang dibagi-bagikan ke pengunjung diimplementasikan sebagai sedekah, pahalanya diniatkan untuk para anggota keluarga yang telah meninggal sekaligus bermakam di pandam perkuburan tersebut.  Rayo Katampek juga sekaligus menjadi ajang ritual akbar ziarah kubur, serta perekat tali silaturrahmi, kekeluargaan antar sesama. 

Yang paling penting, sekalipun masih kecil, namun soal hubungan kekerabatan dengan para leluhur harus tetap diketahui.  Dengan begitu, generasi penerus dapat faham akan sejarah, seluk beluk antar sesama, serta perjalanan waktu kaumnya sendiri dari masa ke-masa.  Dimana pertikaian, selang sengketa dalam suatu nagari, cenderung lebih disebabkan karena ketidaktahuan generasi penerus akan sejarah, serta sejauh mana sesungguhnya pertalian/hubungan mereka satu sama lain. Demi kepentingan pribadi, cenderung segala cara dihalalkan.  

Sebuah Kebanggaan, Kaum Laki-laki ikut Merambah Kubur
Sebelumnya, Wali Nagari Gauang, Rizal Idzeko, mengungkapkan, ada serangkaian kegiatan cukup unik sekaitan ritual Rayo Katampek di daerah yang dipimpinnya. Dimana sebelum digelar ritual adat Rayo Katampek, para kaum laki-laki dalam nagari lebih dahulu melakukan kegiatan pembersihan tampat (pandam pekuburan) yang disebut merambah kubur. Terlebih bagi kalangan muda, tenaganya cukup diandalkan.

Sebagai simbol ikut berkontribusi terhadap kaum lain, para laki-laki biasanya datang lebih awal ke pandam pekuburan tersebut sambil membawa sebilah parang atau golok, serta cangkul untuk membersihkan komplek pusara. Begitu ritual Rayo Katampek dimulai, jamba dibagikan, mereka serempak duduk tertip melingkar, dan golok ditancapkan ke tanah persis di depan tempat duduk.

“Bagi kaum laki-laki, membawa parang ke lokasi acara menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, karena hal tersebut sekaligus menjadi simbol jika mereka telah ikut berkontribusi meski secara umum berasal dari kaum berbeda,” Jelas Wali Nagari.

Ditambahkan Wali Nagari Gauang, kegiatan Rayo Katampek bertujuan sebagai momentum ziarah kubur, diikuti prosesi memanjatkan doa, tahlilan massal. Ritual ini dianggap penting dan tetap harus dilaksanakan mengingat jasa para leluhur begitu besar bagi anak cucu, hingga patut untuk tetap dikenang dan dihargai. Sekaligus sebagai simbul tegaknya adat basandi syara, syara basandi kitabullah.

“Betapa susahnya dahulu mereka mengolah hamparan bumi ini dalam pekatnya belantara, hingga akhirnya berhasil dijadikan  sawah dan ladang untuk digarap oleh anak-cucu. Sampai membuat kultur, adat, budaya dalam hidup bermasyarakat. Maka, tidak ada salahnya jika di hari baik bulan baik untuk mencoba menziarahi mereka,” Pungkas Rizal.  (Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar