Di banyak daerah, momentum lebaran
Idul Fitri 1 Syawal 1436 H mungkin banyak diisi dengan ajang silaturrahmi lewat
mengunjungi rumah sanak saudara, keluarga, famili, kerabat, selanjutnya jalan-jalan
ke tempat-tempat wisata/ hiburan yang ada. Namun berbeda halnya dengan masyarakat
Nagari Gauang, Kabupaten Solok, justru selama sepekan, Sabtu – Kamis (18-23/7),
mereka berbondong-bondong ke pandam pekuburan guna melaksanakan ritual ‘Rayo
Katampek’. Konon ini lebih dari sekadar ritual
lebaran, mau tau kisahnya ?
Tim Liputan— Solok
Sekadar diketahui, perkampungan
kecil berpenduduk sekitar 2000 jiwa ini terdapat di ujung Kecamatan Kubung,
Kabupaten Solok, persisnya berbatas langsung dengan Kota Solok. Disegi ekonomi,
masyarakatnya hampir 60 persen bergantung dari sektor pertanian, peternakan,
dan perkebunan (karet, kakao).
Nagari Gauang juga dikenal
sebagai daerah penghasil batu merah (batu bata) sesudah Nagari Aripan,
Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Hal ini ditandai dengan terdapatnya
sejumlah bedeng di Jorong bansa dan Jorong Gando.
Namun siapa menyangkal, dibalik kondisi sosial yang terlihat
biasa-biasa saja seiring dengan kian kuatnya irama zaman, Nagari Gauang justru mampu
bertahan dengan seabrek nilai-nilai tradisi, adat dan budaya yang diwarisi
secara turun-temurun. Salah satu bentuk kearivan lokal yang berlaku adalah ‘Rayo
Katampek’ yang sistem pelaksanaannya dihelat tujuh hari pasca 1 Syawal (hari
Raya Idul Fitri).
Dari penelusuran di sejumlah
lokasi Rayo Katampek, seperti di Pandam Guguk Limausirek Jorong Gelanggang,
Sabtu (18/7), Tampek Gadang, Jirek Tapuih, Kubang Epoh di Jorong Bansa, Minggu
(19/7), hingga hari terakhir Jirek Jauah dan Jirek Gadang di Jorong Bansa,
Kamis (23/7). Ratusan masyarakat terlihat begitu antusias mengkikuti jalannya ritual
unik tersebut. Tanpa terkecuali diantaranya
kalangan muda-mudi, ikut larut dalam balutan suasana yang penuh kekeluargaan.
Semisal di Pandam Pekuburan
Tampek Gadang milik kaum Caniago, terlihat warga yang datang memadati lokasi
acara mencapai lebih dari 1000 jiwa, itupun nyaris melibatkan semua kalangan
mulai anak-anak sampai lanjut usia. Dari
awal hingga akhir, memakan waktu lebih
dari tiga jam.
Mula-mula diawali prosesi
pidato adat pasambahan antar pihak sipangka (tuan rumah-red) dengan unsur tokoh
agama, selanjutnya diikuti pembagian jamba (nasi bungkus, kue-kue) ke masing-masing pengunjung
bersamaan dengan berlangsungnya ritual balaho (tahlilan) yang diikuti seluruh
warga yang hadir. Sehabis jamba dibagikan, dilangsungnkan prosesi pengumpulan
infaq/ sedekah untuk pembangunan Masjid, kemudian ditutup dengan doa.
Dalam satu hari, Rayo Katampek
bisa berlangsung di dua sampai empat lokasi berbeda, dengan sistem pelaksanaan dilakukan
secara bergantian. Upacara adat tersebut biasanya dimulai pagi hari, berakhir
petang hari, tergantung seberapan banyak jumlah lokasi yang dijadwalkan hari
itu. Begitu seterusnya, satu sama-lain larut dalam suasana peuh hikdmat.
Menurut seorang pemangku adat
sekaligus uama, M.Yusuf Can Dt Saih Tuma Alam, Ritual Rayo Katampek digelar
selama 7 hari, dimulai 2 Syawal Idul Fitri. Jadwal, tempat pandam pekuburan
yang dikunjungi sudah tersusun sebagaimana mestinya semenjak dahulu. Jadi, soal
jadwal, lokasi, tinggal menunggu gilirannya tiba. Maka si tuan rumah mesti
bersiap-siap dengan tanggung-jawabnya.
Secara garis besar, Nagari
Gauang memiliki tiga kaum adat, yakni kaum suku Caniago, Supanjang, dan suku
Koto. Masing-masing kaum punya sejumlah pandam pekuburan, dengan sistem
pembagian sudah diatur sesuai garis keturunan, maupun sako dan pusako.
Seirama alur garis keturunan dari kepala waris/
kaum, ibarat buah durian masing-nya punya ruang-ruang.
Ketika jadwalnya tiba, sambungnya,
biasanya si pemilik pandam pekuburan akan menjadi tuan rumah/ sipangka alek (helat),
selanjutnya mereka menggelar kegiatan masak-memasak makanan yang akhirnya
dibungkus menjadi nasi bungkus, ditambah
kue-kue/makanan ringan sebagai selingan.
Makanan yang siap dibungkus tersebut
pun dari rumah dijujung lewat berjalan kaki menuju lokasi tampat oleh kaum ibu-ibu
berpakaian adat (baju kuruang basiba hitam), untuk selanjutnya dibagi-bagikan
pada semua pengunjung yang datang.
Rombongan kaum hawa pembawa
jamba (makanan) adalah momentum khas tersendiri dalam setiap perayaan Lebaran
Idul Fitri di Nagari Gauang, mereka berjalan berbanjar di labuh utama nagari. Selain kaum ibu-ibu, dalam barisan pembawa jamba
juga dihiasi bidadari-bidadari cantik utusan keluarga/ kaum bersangkutan.
“Ini sudah menjadi tradisi
sejak dahulunya, hingga terus berlangsung sampai sekarang,” Kata M.Yusuf yang
juga pensiunan guru SMKN 1 Kota Solok.
Bersamaan dengan itu, ratusan
masyarakat yang sedari awal berkumpul di lokasi acara, harap-harap cemas
menunggu kedatangan rombongan pembawa makanan tersebut. Yang tak kalah
pentingnya, diantara para tamu yang memadati tempat ritual, telah hadir Alim Ulama, Pemangku Adat, Cerdik
Pandai, Pemuda, serta berbagai unsur lainnya.
Begitu pihak sipangka helat
tiba, upacara Rayo Katampek pun dimulai. Diawali dengan ritual balaho
(tahlilan), berbalas pantun adat, serta diikuti pembacaan doa. Kebetulan dipertengahan
ritual, juga dilangsungkan pembagian jamba pada segenap tamu yang datang, disertai
pengumpulan infak/sedekah untuk pembangunan Masjid oleh rajo Janang, yakni anak
laki-laki dari keluarga laki-laki kaum bersangkutan.
“Nasi bungkus dan beraneka
macam makanan yang dibagi-bagikan tersebut disiapkan oleh masing-masing kaum
selaku ahliwaris. Tidak memandang apakah itu orang miskin, kaya, berpangkat, rakyat
biasa, semuanya diberi jamba,” timpal Aditiawarman Dt.Kayo, Ninik Mamak dari kaum
suku Supanjang.
Dikatakannya, jamba yang
dibagi-bagikan ke pengunjung diimplementasikan sebagai sedekah, pahalanya
diniatkan untuk para anggota keluarga yang telah meninggal sekaligus bermakam
di pandam perkuburan tersebut. Rayo
Katampek juga sekaligus menjadi ajang ritual akbar ziarah kubur, serta perekat
tali silaturrahmi, kekeluargaan antar sesama.
Yang paling penting, sekalipun
masih kecil, namun soal hubungan kekerabatan dengan para leluhur harus tetap diketahui.
Dengan begitu, generasi penerus dapat
faham akan sejarah, seluk beluk antar sesama, serta perjalanan waktu kaumnya
sendiri dari masa ke-masa. Dimana
pertikaian, selang sengketa dalam suatu nagari, cenderung lebih disebabkan karena
ketidaktahuan generasi penerus akan sejarah, serta sejauh mana sesungguhnya pertalian/hubungan
mereka satu sama lain. Demi kepentingan pribadi, cenderung segala cara
dihalalkan.
Sebuah Kebanggaan, Kaum Laki-laki ikut Merambah Kubur
Sebelumnya, Wali Nagari
Gauang, Rizal Idzeko, mengungkapkan, ada serangkaian kegiatan cukup unik
sekaitan ritual Rayo Katampek di daerah yang dipimpinnya. Dimana sebelum
digelar ritual adat Rayo Katampek, para kaum laki-laki dalam nagari lebih
dahulu melakukan kegiatan pembersihan tampat (pandam pekuburan) yang disebut
merambah kubur. Terlebih bagi kalangan muda, tenaganya cukup diandalkan.
Sebagai simbol ikut
berkontribusi terhadap kaum lain, para laki-laki biasanya datang lebih awal ke
pandam pekuburan tersebut sambil membawa sebilah parang atau golok, serta cangkul
untuk membersihkan komplek pusara. Begitu ritual Rayo Katampek dimulai, jamba
dibagikan, mereka serempak duduk tertip melingkar, dan golok ditancapkan ke
tanah persis di depan tempat duduk.
“Bagi kaum laki-laki, membawa
parang ke lokasi acara menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, karena hal
tersebut sekaligus menjadi simbol jika mereka telah ikut berkontribusi meski
secara umum berasal dari kaum berbeda,” Jelas Wali Nagari.
Ditambahkan Wali Nagari
Gauang, kegiatan Rayo Katampek bertujuan sebagai momentum ziarah kubur, diikuti
prosesi memanjatkan doa, tahlilan massal. Ritual ini dianggap penting dan tetap
harus dilaksanakan mengingat jasa para leluhur begitu besar bagi anak cucu,
hingga patut untuk tetap dikenang dan dihargai. Sekaligus sebagai simbul
tegaknya adat basandi syara, syara basandi kitabullah.
“Betapa susahnya dahulu mereka
mengolah hamparan bumi ini dalam pekatnya belantara, hingga akhirnya berhasil
dijadikan sawah dan ladang untuk digarap
oleh anak-cucu. Sampai membuat kultur, adat, budaya dalam hidup bermasyarakat.
Maka, tidak ada salahnya jika di hari baik bulan baik untuk mencoba menziarahi
mereka,” Pungkas Rizal. (Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar